Peluang Investasi

DISTRO: WHEN INDIE GOES POP

Jumat, April 11, 2008


Distro, kependekan dari distribution outlet, merupakan aplikasi dari semangat ‘Do It Yourself’ sebuah pergerakan resistensi radikal atau yang sering disebut sebagai Punk. Pada awalnya, distro didirikan sebagai sarana distribusi musisi-musisi Punk. Kemudian, beberapa waktu belakangan distro juga mulai menjual berbagai jenis merchandise dan clothing yang dihasilkan oleh anggota komunitas Punk. Hal ini menjadikan distro lebih dikenal sebagai tempat mencari baju dan merchandise band-band Punk lokal.

Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, keberadaan distro sudah ada sejak pertengahan tahun 1990-an, seiring dengan maraknya gelombang independen yang mulai mempengaruhi banyak artis lokal pada saat itu. Di awal tahun 2000 fenomena distro terasa semakin hebat ketika pergerakan Punk kemudian berubah menjadi pop culture yang banyak digemari oleh para remaja. Fenomena tersebut juga didukung oleh kehadiran MTV yang setiap hari memutar musik buatan band-band indie lokal dengan dipandu oleh para Video Jockey yang sering di-endorse oleh beberapa merek clothing lokal. Tren musik indie yang terjadi sedikit banyak mempengaruhi fashion dan life style yang pada akhirnya berimbas pada perubahan fungsi distro.

Fenomena distro juga melanda kota Jogjakarta sejak awal tahun 2000 dan sampai saat ini sudah terdapat sekitar dua puluhan distro yang menyebar dari wilayah selatan hingga ke utara. Diantara puluhan distro tersebut terdapat beberapa nama distro yang terkenal di kalangan remaja Jogja, antara lain Slackers, Vernon, serta South Fucktory. Ketiga distro tersebut adalah distro yang paling sering dikunjungi oleh remaja-remaja Jogja dari berbagai kalangan, tidak hanya komunitas tertentu saja.
Bicara mengenai komunitas, ada beberapa distro yang sering diidentikkan dengan komunitas tertentu. Karakteristik distro ini dapat dilihat dari jenis aksesoris yang dijual dan merek clothing yang terdapat di distro tersebut walaupun hal tersebut bukanlah sesuatu yang baku sebab sebagian besar distro yang ada di Jogja rata-rata menjual merchandise yang juga berasal dari beberapa merek clothing tertentu.
Seperti distro Slackers yang berada di Jalan Ring Road Utara Km 15, Maguwoharjo, adalah distro yang identik dengan anak skater dan komunitas Punk Melodic serta sering menjadi tempat berkumpul komunitas Common People. Selain itu ada distro Distroi yang terdapat di daerah Merican yang merupakan distro komunitas Street Punk dan Hardcore. Distro tersebut terutama menjual pamflet, kaset, newsletter, zine, serta komik underground. Distroi adalah salah satu dari sedikit distro yang murni milik anggota komunitas Punk dan bertujuan sebagai usaha non-profit. Sementara distro Toxictattoopark identik dengan komunitas pecinta seni tattoo dan piercing karena memang menyediakan layanan tersebut sebagai pendapatan utama.

Distro-distro selain beberapa distro tersebut mayoritas memiliki karakteristik yang sama, beraliran Punk Melodic dengan sedikit sentuhan desain Pop ala Andy Warhol.
Merchandise dan clothing yang dijual di distro-distro Jogja kebanyakan mengambil produk dari Bandung dan Jakarta seperti Ouval Research, Rockmen, Theodore Clothing, God Inc., 347 Boardriders, Cynical MD, Rebel, Firebolt, Rubber, dsb. Produk clothing dari luar kota Bandung dan Jakarta untuk saat ini belum terlalu signifikan. Mungkin hanya label Suicide Glam dari Bali yang dapat disetarakan dengan label-label dari Bandung dan Jakarta.

Sedangkan untuk merchandise buatan Jogja sendiri sampai saat ini hanya ada beberapa produsen, antara lain Lollypop, Slackers, Bodoh Clothing dan Vernon. Disamping merchandise buatan produsen clothing tersebut, kadang-kadang ada beberapa band indie lokal yang juga memproduksi kaos atau aksesori tertentu (terutama hand band) dan menitipkannya di distro. Dalam kondisi seperti ini biasanya ada ketentuan pembagian keuntungan sebesar 10% bagi distro yang menjadi tempat penjualan. Ketentuan yang sama juga berlaku bagi penjualan zine dan newsletter.
Alasan utama para pengusaha distro tersebut lebih banyak mengambil produk buatan Bandung dan Jakarta antara lain karena masih sedikitnya produsen clothing dari Jogjakarta yang memiliki desain yang bagus, juga citra kota Bandung dan Jakarta yang selama ini menjadi parameter mode di Indonesia.

Jenis-jenis barang yang dijual di distro pada dasarnya sama hanya berbeda dari segi desain dan produsen, yaitu kaos, gelang dan sabuk spike, tas, jaket, topi (biasanya jenis trucker cap), pin, zine, newsletter underground serta tidak ketinggalan kaset musisi underground lokal. Harga dari berbagai macam barang tersebut di seluruh distro berkisar antara 15 ribu sampai 50 ribu rupiah untuk aksesoris seperti gelang dan ikat pinggang, sedangkan untuk kaos antara 50 ribu sampai 250 ribu rupiah. Perbandingan harga diantara distro-distro di Jogja tidak terlalu berbeda jauh. Penentuan harga ini berdasarkan kesepakatan diantara para pemilik distro untuk menghindari persaingan yang tidak sehat.

Pengunjung distro mayoritas merupakan remaja usia 15-25 tahun dengan tingkat pendidikan SMU sampai dengan perguruan tinggi. Bila dalam model awal distro yang merupakan fasilitas bagi komunitas Punk untuk mempublikasikan hasil karyanya, pengunjungnya kebanyakan laki-laki, maka sekarang distro juga sering dikunjungi oleh wanita walaupun perbandingannya masih terlalu sedikit. Kondisi ini dapat berubah jika distro yang dimaksudkan adalah distro yang menjual baju/kaos model wanita seperti distro Broadway atau distro khusus wanita di Jakarta, yaitu distro Monik.

Distro yang kini memiliki popularitas tinggi sebagai akibat dari berkembangnya pergerakan Punk menjadi budaya pop, mulai mengalami degradasi fungsi dan peran bagi sebagian anggota komunitas underground. Distro kini lebih komersil dan sama seperti butik, menjadi parameter untuk mengaktualisasi diri di bidang fashion, musik dan life style bagi remaja. Jika semula distro identik dengan komunitas Punk yang sering dianggap aneh dan menakutkan maka sekarang distro menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi oleh remaja-remaja yang mengaku dirinya ‘gaul’.

Distro telah masuk menjadi salah satu ikon pop. Selain itu, berubahnya distro menjadi sebuah industri besar yang melibatkan para pengusaha dan pemilik modal juga menimbulkan berbagai kontraversi terutama di kalangan komunitas underground. Pertentangan tersebut sebenarnya sudah lama muncul sejak pertengahan tahun 1990-an ketika banyak anak muda di Bandung yang mulai melirik dan menjadikan distro sebagai usaha sampingan dengan tujuan bisnis. Pro dan kontra yang timbul mengenai keberadaan distro, antara idealisme dengan komersialisme menjadi sebuah masalah yang kompleks, sama seperti pergerakan komunitas perintis distro itu sendiri.

1 komentar:

admin mengatakan...

bang artikelnya yang ini saya mau minta izin buat saya masukin di blog saya.... ^^